“Kamu
kenapa sih, Nam?” Albi tak berhenti bertanya pada Nami.
“Aku ga
apa-apa, Albi.” Berulang kali pula Nami menjawab pertanyaan Albi dengan jawaban
yang sama. Tetap saja Albi bersikeras untuk mendapat jawaban yang sesungguhnya
dari Nami.
“Nami,
liat gue.” Perintah Albi, namun Nami tetap saja memandang lurus ke depan. “Naaam…”
panggil Albi sekali lagi. Mau tak mau, akhirnya Nami pun menoleh dan memandang
Albi.
“Kita
kenal ga baru tiga hari, tapi tiga tahun. Dan gue tahu lu banget. Lu kenapa?”
tanya Albi sungguh-sungguh dengan suaranya yang tenang. Nami menarik napas
dalam-dalam lalu membuangnya seolah-olah seluruh masalahnya akan ikut terbuang.
Namun, Nami tetap terdiam.
“Ok,
gue ga maksa lu buat cerita. Tapi, semangat dong! Besok ulang tahun lu kan? Jangan
cemberut dong!” ucap Albi berusaha menyemangati Nami. Nami hanya mampu
tersenyum kecut. Bukannya tak ingin membagi kesedihannya, ia hanya belum
sanggup untuk bercerita.
“Nami…
Tahu kenapa kita bisa sedih? Tahu kenapa kita bisa ngerasain yang namanya bad day?” tanya Albi sambil memandang
kedua bola mata Nami.
“Kenapa?”
Tanya Nami singkat sambil balas memandang Albi.
“Karena kita tahu rasanya bahagia, bad day reminds us that we have the good one. Hidup itu butuh
keseimbangan, ada saatnya kita bahagia ada saatnya kita sedih. Kita hanya harus
selalu bersyukur.” Jelas Albi sambil tersenyum.
Akhirnya,
seulas senyum tulus terlukis di wajah Nami. “Albi…” belum sempat Nami
mengucapkan terimakasih, tiba-tiba saja Albi beranjak dan mulai berlari sambil
berteriak. “Kalo bisa ngejar gue, gue penuhin semua kemauan lu besok!”
“Bener??!”
tanya Nami setengah berteriak.
“IYAAA.”
Tanpa aba-aba, Nami pun ikut berlari mengejar Albi. Sejenak, ia berhasil
melupakan keresahannya. Kata-kata yang Albi lontarkan senantiasa terngiang di
telinganya, bad day reminds us that we
have the good one
No comments:
Post a Comment