Aku sadar aku berusaha
memenangkan egoku sendiri. Aku sadar ini sebuah kesalahan besar. Namun, apalagi
yang bisa aku lakukan? Hanya mengemis pada seorang pria untuk membuka hatinya
padaku dan membantu melupakan sosok pria lain. Ya, egois bukan?
***
“Bantu aku, Rif…” ucapku dengan
suara yang parau menahan suara tangis yang kian pecah. Arif bergeming. Ku lihat
otot-otot wajahnya masih tegang.
“Rif… Kamu… sayang kan… sama
aku?” tanyaku terbata-bata sambil menangkup wajahnya dnegan kedua tanganku.
Otot-otot wajahnya mulai
mengendur. Tatapannya begitu sedih. Andai aku bisa membaca pikiranmu…
“Aku sayang sama kamu, Key…. Tapi…”
“Jangan tinggalin aku…” potongku
cepat sebelum ia melanjutkan kalimatnya. Kurasakan kedua tangan Arif
menggenggam tanganku yang masih menangkup wajahnya. Ia melepaskan tanganku dari
wajahnya.
“It’s not that easy to be with someone who doesn’t really love you. Apa
gunanya kita bareng, tapi di hati kamu ada orang lain? Apa gunanya, Key?” tanya
Arif sambil memandangku lekat-lekat. Perasaan bersalah semakin menyelebungi
hatiku. Kau bodoh, Key.
“Tapi kamu juga mau kita bareng
kan?” aku balik bertanya, berusaha mempertahankan hubungan demi keegoisanku.
“Key…” ucap Arif pelan
seolah-olah putus asa. “Jangan paksa hati kamu untuk sayang sama aku saat hati
kamu memilih yang lain…”
“Arif… please…” bulir-bulir air mata kembali membasahi pipiku. Jahatnya aku,
bodohnya aku.
“Bantu aku… aku mau lupain dia. Bantu
aku lupain dia… aku mau sayang sama kamu, bantu aku…” pintaku sungguh-sungguh
tanpa berani menatap wajah Arif lagi.
Tiba-tiba Arif menarikku kedalam
pelukannya. Saat itu pula ia mencium puncak kepalaku lembut dan tangisku
semakin pecah. Dengan tenaga yang masih tersisa, kembali kuucapkan
permintaanku.
“Bantu aku, Rif…”
No comments:
Post a Comment